Konsultasi Pajak Hotel

Jul 4, 2023 | Article

Pertanyaan:
  • Apakah jasa perhotelan dikenakan PPN atau pajak lainnya, mengingat menurut PMK No. 43/PMK.010/2015 pasal 2 dijelaskan bahwa kelompok jasa perhotelan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sedangkan menurut UU Nomor 28 tahun 2009, hotel dikenakan pajak 10%?
  • Apakah terdapat perbedaan perlakuan perpajakan hotel dan villa (KBLI 55113 (Hotel Bintang 3) ke KBLI 55194 (Villa)?
  • Pajak apa saja yang harus dibayarkan atas kedua jenis usaha tersebut?
Diskusi:

Pasal 4A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU PPN”) menyebutkan bahwa:

“(2)   Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

…c.  makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:

….l. jasa perhotelan; …..”

Dalam memori penjelasan Pasal 4A ayat (3) UU PPN, dijelaskan bahwa:

“Jasa perhotelan meliputi :
1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.”

 

Lebih lanjut, Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 43/PMK.010/2015 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa Perhotelan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (“PMK 43“) mengatur bahwa:

 
Pasal 2

“(1)  Kelompok jasa perhotelan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 meliputi:

a. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan      b. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

(2)  Yang dimaksud dengan tambahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan fasilitas penunjang yang terkait secara langsung dengan jasa penyewaan kamar, antara lain pelayanan kamar (room service), air conditioning, binatu (laundry and dry cleaning), kasur tambahan (extrabed), furnitur dan perlengkapan tetap (fixture), telepon, brankas (safety box), internet, televisi satelit/kabel, dan minibar.

(3)  Fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (a) merupakan fasilitas yang terkait secara langsung dengan kegiatan jasa penyewaan kamar dan semata-mata diperuntukkan bagi tamu yang menginap, antara lain fasilitas olah raga dan hiburan, fotokopi, teleks, faksimile, dan transportasi hotel (kendaraan antar-jemput) yang semata-mata untuk tamu yang menginap”

 

Pasal 3

“(1) Tidak termasuk kelompok jasa perhotelan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) antara lain:

    • a. jasa penyewaan ruangan untuk selain kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf (b), antara lain penyewaan ruangan untuk anjungan tunai mandiri (ATM), kantor, perbankan, restoran, tempat hiburan, karaoke, apotek, toko retail, dan klinik;
    • b. jasa penyewaan unit dan/atau ruangan, termasuk tambahannya, di apartemen, kondominium, dan sejenisnya, serta fasilitas penunjang terkait lainnya; dan
    • c. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh pengelola jasa perhotelan.

(2)  Pengecualian jasa penyewaan unit dan/atau ruangan, termasuk tambahannya, di apartemen, kondominium, dan sejenisnya, serta fasilitas penunjang terkait lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) dari kelompok jasa perhotelan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, didasarkan atas izin usahanya”

Pasal 32, Pasal 34, dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU PDRD“) mengatur bahwa:

 

Pasal 32

“(1)  Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan   kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.

 

(2)  Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.”

 

Pasal 34

“Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel.”

 

Pasal 35

“(1) Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”

Pasal 4 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh“) menyebutkan bahwa:

“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
… d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan (“PP-34“) menyebutkan bahwa:

“(1) Atas  penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(3) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya”

Lebih lanjut dalam penjelasan PP-34 juga menjelaskan bahwa:

“…(3) yang dimaksud dengan “jasa pelayanan penginapan” antara lain kamar, asrama untuk mahasiswa/pelajar, asrama atau pondok pekerja, dan rumah kos.”

Lebih lanjut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 mengenai Pajak Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(“PP-23”)  mengatur bahwa:

“(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu.

(2)  Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

(3)  Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
c. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Selanjutnya, Pasal 3 ayat (1), (2), (3), (4) dan Pasal 5 PP-23 juga mengatur bahwa:

 

Pasal 3

(1) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan:
a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
b. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

(2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf (a), Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
c. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
1.   Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
2. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya;dan
d. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.

(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

 
Pasal 5

(1) Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu paling lama:
a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak:
a. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atau
b. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

 
Tax First:

1. Apakah jasa perhotelan dikenakan PPN atau pajak lainnya, mengingat menurut PMK No. 43/PMK.010/2015 pasal 2 dijelaskan bahwa kelompok jasa perhotelan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sedangkan menurut UU Nomor 28 tahun 2009, hotel dikenakan pajak 10%?
Jawab: Jasa perhotelan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.010/2015 tidak dikenakan PPN, namun dikenakan PB1 dengan tarif maksimal 10% ke Pemerintah Daerah. Untuk Pajak Penghasilan menggunakan tarif umum PPh Pasal 17, atau dapat menggunakan tarif yang diatur di PP-23 dengan tarif PPh Final sebesar 0.5% apabila omset di bawah Rp 4.8 milyar per tahun.

2. Apakah terdapat perbedaan perlakuan perpajakan hotel dan villa (KBLI 55113 (Hotel Bintang 3) ke KBLI 55194 (Villa)?
Jawab: Apabila tidak ada izin perhotelan, maka penyewaan villa merupakan jasa kena pajak. Apabila penyerahan melebihi Rp 4.8 milyar per tahun, maka Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri menjadi PKP dan memungut PPN. Lebih lanjut, penghasildan dari penyewaan villa adalah penghasilan yang dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 10%.

3. Pajak apa saja yang harus dibayarkan atas kedua jenis usaha tersebut?
Jawab: Lihat tabel di bawah ini.

Objek Pajak Hotel Villa Dasar Pengenaan Pajak
PPh 4(2) 0.5% 10% Hotel: Apabila omset di bawah Rp 4.8 milyar, dapat menggunakan PP-23 dengan tarif final sebesar 0.5% (opsional)
Pajak Daerah 10% PB-1 untuk hotel maksimum 10% (diatur dengan Perda)
PPN -/10% 10%

Hotel: 10% hanya apabila jasa yang disebutkan di Pasal 3 ayat (1) 43/PMK.010/2015 melebihi Rp 4.8 milyar atau hotel sudah PKP

Villa: Apabila penyerahan melebihi Rp 4.8 milyar per tahun atau Wajib Pajak OP / PT Villa sudah PKP

PPh Pasal 17 v Hotel: Penghasilan dari Laba Usaha setelah dikurangi biaya fiskal, dikenakan PPh dengan tarif umum Pasal 17 atau Pasal 31E apabila omset di bawah Rp 50 milyar per tahun.

Demikian penjelasan dari kami, apabila masih terdapat pertanyaan sehubungan dengan hal diatas silahkan menghubungi kami kembali. Terima kasih. (Disclaimer)